Catatan Kajian
Komunikasi Suami Isteri, Memahami Rasa dalam Kata
-Nurmaeli Fitriyah S.Sos
1. Tujuan asasi setiap pernikahan adalah sakinah
2. “Litaskunu ilaiha” ( QS Arrum:21) “ supaya kita tenang/cenderung kepadanya.
3. Maka pasangan hadir untuk menenangakan diri kita dan juga sebaliknya
4. Maka berharap memiliki suami yang menenangkan hati kita adalah keniscayaan, begitupun memiliki istri yang menenangkan adalah keniscayaan
5. Namun, Pada kenyataannya dalam pernikahan seringkali kita tak menemukan cara berkomunikasi yang pas untuk menenangkan hati masing-masing.
6. Adalah sebuah keniscayaan, bahwa lelaki akan mencari perempuan yang menengkannya
7. Karena secara fitrah suami dan istri itu berbeda,
8. Tidaklah laki-laki itu (sama) seperti perempuan (QS Ali-Imran:36)
9. Begitu juga dalam bab hak, tanggungan dan kewajibannya
10. laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) (QS An-Nisaa’:34).
11. Maka tentulah, bab yang menenangkannya akan berbeda juga
12. Seorang makmum dalam shalat, pastilah senang dengan imam yang fasih, suaranya enak didengar, tak terburu2, dan perangainya selepas salam dapat menjadi teladan dalam keadaan sehari-hari.
13. Begitupun dengan imam, ia tentulah senang jika saat shalat ia memimpin makmum yang tidak bercanda dalam jamaah, tidak ketawa-ketawa, menyimak dengan khusyu tidak ingin cepat selesai dll.
14. Artinya setiap makmum punya tuntutan tentang imam yang memimpinnya
15. Dan setiap imam, punya harapan tentang makmum yang dipimpinnya.
16. Demikian pula dalam pernikahan,
17. Setiap kita punya harapan, keinginan dan tuntutan
18. Entah itu imam, ataupun makmum, Entah perempuan atau lelaki
19. Maka prinsip dasar komunikasi suami isteri, adalah Menyadari bahwa setiap kita( suami –isteri) sama-sama ingin mencari ketenangan dari pasangannya
20. Dan, hal-hal yang membuat tenangnya laki-laki dan tenangnya perempuan , bisa jadi akan berbeda bahkan sangat berbeda.
21. Parahnya, ketika ketenangan itu tidak didapatkan dari pasangannya. Ia akan mencari sumber lain yang bisa menenangkannya.
22. Lalu bagaimana cara memulainya ?
23. Pertama, insya Allah sumber masalah dalam pernikahan/komunikasi kita diawali manakala fungsi-imam tertukar atau berjalan dengan tidak baik.
24. Ketika perempuan banyak memimpin dalam rumah dan suami hanya follower setiap keinginan dan kebijakan isteri
25. Atau ketika lelaki dalam rumah kita tidak mau memimpin, tidak cakap memimpin bahkan terlalu takut saat mengambil keputusan.
26. Atau ketika perempuan dalam rumah kita, tidak pernah mau mendengar dan percaya pada perkataan dan kebijakan suami.
27. Maka memahami fungsi masing-masing adalah langkah awalnya.
28. Suami sebagai imam, kepala keluarga yang berkewajiban menentukan arah jalannya sebuah rumah tangga, sehebat apapun istri, jika sebuah keluarga mengalami badai, seorang istri harus mempercayakan pada suami bagaimana ia mengambil keputusan untuk melepaskan keluarganya dari badai
29. Istri sebagai makmum harus menyadari perannya untuk bisa menjaga qodrat sebagai makmum, setinggi apapun kedudukan, sebesar apapun penghasilan, sedominan apapun sifat, jika dalam rumah tangga sang istri mampu menempatkan diri maka bahtera rumah tangga akan berjalan tenang, takkan ada yang wilayah imamnya terganggu dan tertukar.
30. Maka disini, ego suami istri harus sama-sama diturunkan jika memiliki pendapat. Duduk bersama membahas setiap masalah dan letakkan kepentingana keluarga dan anak-anak diatas segala kepentingan dan cita-cita pribadi. Toh kita berkeluarga maksudnya untuk mencari sakinah, jika dalam urusan komunikasi saja belum rampung, maka mustahil sakinah bisa tercapai
31. Kedua, milikilah ilmu komunikasi antar suami istri, karena ketika ilmu komunikasi tidak dimiliki maka yang terjadi dalam rumah tangga bukanlah komunikasi tapi hanya suara lalu lalang diantara dua orang , tidak ada timbal balik.
32. Tidak ada yang bisa disebut sebagai komunikator , tak ada yang pantas disebut komunikan. Hanya pesan bersliweran yang untuk menafsirnya diandalkan prasangka-prasangka pribadi
33. Banyak suami telah menyangka telah membahagiakan istrinya , padahal kalau saja karena taqwa dan sabarnya sang istri , niscaya rumah tangga mereka telah jadi neraka.
34. Banyak istri menyangka suami tak lagi mencintainya , maka prasangka itu berubah jadi amarah, ditebarlah aib suami , keburukan sifatnya, kekurangan nafkahnya, maka ke banyak telinga lah ia menebar aib keluarga sendiri
35. Cukuplah memang iman dan taqwa sebagai bekal hidup berumah tangga, dengan keduanya komunikasi akan terjalin baik. Iman dan Ilmu menghajatkan Ilmu, Allah dalam firmannya :” Fa’lam annahu laa ilaaha Illallah , maka ilmuilah sesungguhnya tidak ada tiada Illah selain Allah” berilmulah sebelum mengimaninya .
36. Maka imam bukhari menulis bab pertamanya “Al-Ilmu qablal Qauli wal amaal, Ilmu sebelum perkataan dan perbuatan.kalau kita ubah sedikit kata-katanya , maka menjadi ilmu sebelum berkomunikasi dan bertindak
37. Maka tugas suami istri adalah saling melengkapi ilmu , suami harus memberikan waktu untuk istri belajar, membaca banyak buku, menyerap banyak ilmu dari kajian-kajian, percayalah kecerdasan akan membangun akhlak yang indah dan elegan, tak lagi berkomunikasi dengan berteriak, mengomel dan merengut pada suami
38. Ketiga, awali komunikasi dari hati
39. “Barang siapa menikahi seorang wanita karena memandang kedudukannya maka Allah menambah baginya kerendahan, barangsiapa menikahi wanita karena memandang harta bendanya , allah akan menambah baginya kemelaratan . barangsiapa menikahi wanita karena memandang keturunan, maka Allah akan menambah baginya kehinaan . Tetapi barangsiapa menikahi seorang wanita karena ingin menundukkan pandangan dan menjaga kesucian farjinya , atau ingin mendekatkan ikatan kekeluargaan maka Allah akan memberkahinya bagi istrinya dan memberkahi istrinya baginya (HR Bukhari)
40. Maka tanyakan niatan awal kita menikahi pasangan. Hal ini mengajarkan pada kita agar meluruskan niat sebelum menikah maupun saat sudah memasuki gerbang pernikahan
41. Niat yang baik akan menumbuhkan komitmen pernikahan yang kokoh . Ketika seseorang dikuasai komitmen yang baik, maka hatinya akan disibu8kkan untuk melakukan yanag terbaik untuk keluarganya
42. Melihat pada hadist tadi, Rasulullah mengatakan , boleh jadi ketika orientasi menikah adalah karena kedudukan , Allah akan menambahkan kerendahan pada yang meniatkannya, komunikasi yang terjadi dalam rumah tangga ini bukanlah antara suami istri, tapi hanya antara dua orang yang saling menghinakan dan dihinakan. “Eh , kamu sadar ga kamui itu siapa kalau ga nikah sama aku kamu itu orang miskin ga punya kedudukan!”
43. Jika orientasi menikah hanya karena harta, maka rasa yang hadir dalam pernikahan hanya rasa melarat, rasa miskin dan rasa kurang bagi yang menjalaninya. Takut kehilangan disatu pihak, waswas bersiasat dipihak lain. Iatri yang selalu menuntut suami menghasilkan rupiah banyak untuk membayar gaya hidup yang ia lihat keatas, pada kehidupan tetangga-tetangganya
44. Jika orientasi pernikahan hanya karena keturunan, hanya akan membuat orang takkan melepaskan label kehormatan dan dan saling menyombongkan disi. Kalimat yang timbul biasanya “kamu tuh harus sadar kamu anak siapa, beda dengan aku keturunan terhormat!”
45. Itulah ruh komunikasi, semua berawal dari hati, niatan melahirkan cara pandang. Maka jika ingin komunikasi lancar, luruskan cara pandang, benahi ruhiyah, karena ruh yang keruh, lisan tak pernah melafal tilawah dalam rumah , hati yang mati tak pernah disirami ilmu penyegar jiwa pasti akan muncul kepermukaan dalam bentuk kata-kata kasar, jauh dari kelembutan, jauh dari rasa syukur
46. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS.Ali Imran 159)
47. Maka diantara suami istri, jernihkan hati keduanya, mendekat pada Allah dan raih rahmatNya, ketika hati kita jernih dan ilmu meluas, kita tak mudah terbumbu oleh kata-kata lawan bicara yang pedas , kita lebih mudah mencerna aneka kata tanpa prasangka, kemudian menyikapi dengan tindakan paling tepat
48. Keempat, Berfokuslah hanya pada kebaikan diri dan pasangan,
49. Pernikahan akan lbh menarik jika kita berfokus pd kebaikan yg direncanakan berdua, bukan pada kekurangan masing-masing. itu akan melelahkan
50. Pernikahan akan terasa indah jika berdua saling membantu utk mengingatkan tujuan awal pernikahan dan berfokus padanya
jika memilih kehidupan pernikahan mengalir, itu adalah pilihan sadar, bukan karena malas. tapi ingat,sifat mengalir itu dr tempat tinggi ke tempat rendah
51. Menjadi tuli bagi seorang suami adalah penting, tuli terhadap berbagai keluhan istri yang tak smuanya harus direspon segera,itu salahsatu cara mndidiknya sabar
52. dan menjadi buta bagi seorang istri itu penting.istri hrs menutup mata pada masalalu suami,keburukan suami, kekurangan suami. Berfokuslah pd kebaikan& jasanya yg besar untuk menjaga keluarga.
53. Dalam pernikahan tak mungkin setiap hari dilalui dengan rasa tenang,cobaan adalah keniscayaan yg hrs dihadapi dg satu keniscayaan juga : sabar
54. Pahamkan pada pasangan bahwa tak selamanya ikhtiar kita menemukan hasil sempurna, justru ketidaksempurnaan hasil ikhtiar menambah indah kesabaran kita
55. Kelima, lakukan gagasan yang baik untuk saling menumbuhkan
56. Pernahkah anda merasa Ada yang berubah dengan hubungan dalam pernikahan. Entah kenapa, belum seberapa panjang penikahan dijalani bersama, getaran itu mulai menghilang. Kebahagiaan perlahan menguap, rasa tenang dan aman mulai pergi. Pasangan kini sosok yang ditakuti, bukan yang dirindukan. Pernikahan ini mulai terasa membosankan.
57. Mungkin ada senyawa dalam jiwa-jiwa kita yang mulai tidak berkerja. Mungkin ini karena kita sedang tidak lagi saling jatuh cinta dalam pernikahan.
58. Suatu ketika Stephen Covey, seperti diceritakan dalam bukunya 7 habits, didatangi seorang suami. Ia berkata pada Covey, bahwa ia tidak lagi mencintai isterinya, lalu bertanya apa yang sebaiknya dia lakukan. Covey, lalu memintanya untuk berbuat sesuatu pada isterinya, berikan mawar, ajak makan malam dan hal-hal lain yang membangkitkan romantisme. Si suami menolak saran itu dengan alasan, bagaimana mungkin ia melakukan itu, sedangkan ia sudah tidak punya cinta lagi. Dan Covey menutup pembicaraannya dengan meminta si suami untuk tetap berbuatlah ,karena cinta itu kata kerja, lalu rasa akan datang dengan sendirinya
59. Tindakan atau amal, adalah yang membuat cinta jadi logis. Cinta jadi terukur. Sulit rasanya kita mempercayai seorang pemuda yang mengaku cinta pada Tuhannya, sedang ia tak pernah mendirikan Solat. Sama sulitnya mempercayai seorang suami yang mengaku mencintai keluarganya, namun tak pernah hadir untuk keluarganya
60. Sesuatu yang diidamkan, adalah sesuatu yang diharapkan. Maka bekerja untuk memenuhi harapan adalah bagian dari cinta pada pasangan. Mulai melunturnya rasa dalam pernikahan bisa jadi karena kita mulai berhenti melakukan apa yang diharapkan dari pasangannya
61. Mungkin ada isteri yang semakin lama semakin kehilangan kesabarannya dalam pernikahan, padahal mungkin dulu ia dinikahi karena sifat sabar yang melekat dengan kegadisannya. Atau isteri yang berhenti mempercantik diri di depan suami, padahal berhias untuk suami adalah kebaikan dalam agama.
62. Atau mungkin isteri yang tak mau mengurus anak, padahal sang suami ingin isterinya menjadi madrasatul’ula untuk anak-anaknya. Pun dengan suami, mungkin ada suami-suami yang berhenti melakukan apa yang diharapkan isterinya,padahal karena hal itu dulu ia mau dinikahi.
63. Berani jujur pada diri adalah kucinya. Setiap kita punya harapan tentang pernikahnnya demikian dengan pasangan kita. Godaan megalomania, atau merasa telah melakukan banyak hal adalah ujian bagi setiap pecinta. Ia berdiri diantara perasaan sudah melakukan benyak hal dan kenyataan apa yang dilakukannya belumlah cukup bagi pasangan. Butuh kearifan jiwa disini, untuk berani menilai diri sendiri tentang apa yang sudah dan apa yang masih bisa ditumbuhkan. Karena cinta itu benih yang bisa ditumbuhkan.
64. Cinta jiwa sendiri bermula atas gagasan kita untuk kehidupan dan masa depan. Setelahnya mulailah jiwa mencari sayap sebelah yang mampu menggenapi kita untuk tumbuh bersama, di fase ini perasaan mulai ikut berperan. Setelahnya, masuklah kita dalam fase tersulit dari cinta itu sendiri. Mengejewantahkan ide dan rasa dalam sebuah tindakan. Disini cinta akan bermakna aktif bukan pasif, kata kerja bukan sekedar kata sifat. Maka cinta memang menuntut pelakunya untuk terus memberi. Termasuk belajar memberi apa yang diharapkan oleh pasangannya.
65. Pada akhirnya, apa yang kita lakukan itu yang akan melanggengkan kesan dalam pernikahan ini. Umar bin Khattab berucap,” Hanya ada satu dari dua perasaan yang mungkin dirasakan seseorang saat pasangan hidupnya wafat: merasa bebas dari beban hidup atau kehilangan tempat bergantung.”
Wallahu’alam Bishawab
_________________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar