Optimisme itu berbeda dengan toxic positivity. Rasa optimisme ini akhirnya membawa Nabi Yakub bertemu kembali dengan putranya. Bahwa setiap kita pasti butuh ditolong sama Allah. Istilah sebutannya dengan prophetic optimism. Bagaimana kalimat-kalimat baik ini bisa menumbuhkan optimisme bukan hanya pada diri sendiri tapi juga pada orang-orang di sekitar kita.Optimisme dalam pikiran dulu. Contoh, misalkan kita mau bangun rumah. Mulai dari mana? Mulai dari kreasi mental dulu. Kita buat rancangan dalam pikiran, kemudian baru setelah itu dituangkan ke dalam gambar, mungkin lewat jasa arsitek atau gambar sederhana.
Dan ketika kreasi mental ini terjadi, bahkan kita enggak perlu ada sumber daya pendukung apapun secara fisik. Misalkan, ketika seseorang punya impian, ini bukan tentang uang, bukan tentang relasi, dukungan pihak lain, bukan. Mulai aja dengan niat, dan niat itu adalah kreasi mental, keyakinan, optimisme. Dan kemudian kreasi mental itu terucap dalam sebuah kalimat. Keyakinan itu adalah mindset. Bahkan enggak perlu ada bukti apapun dan optimisme itu adalah menciptakan kemenangan dalam pikiran.
Orang yang optimis itu sudah menang secara mental sebelum melakukan apapun secara fisik. Dan kalau begitu, apa rumus optimis? Saya memahami kawan-kawan sekalian karena saya sebagai seorang Muslim, rumus optimis itu percaya Allah plus percaya diri. Nah, urutannya ini penting. Percaya diri itu perlu diawali dengan percaya Allah, karena kalau kita percaya diri tanpa percaya Allah, bisa arogan, bisa sombong. Jadi percaya diri itu adalah percaya bahwa Allah memberikan kita kemampuan untuk memilih respon terbaik untuk bisa melakukan yang terbaik, berpikir, berucap, bertindak yang terbaik.
Dan yang perlu kita pahami di sini, teman-teman sekalian, optimisme itu berbeda dengan toxic positivity. Apa itu toxic positivity? Sebuah kondisi di mana seseorang itu menuntut diri sendiri agar selalu berpikir dan bersikap positif tapi menolak atau menyangkal emosi negatif. Tidak salah ketika seseorang itu harus bersikap positif atau memiliki positive mindset. Positive thinking memang teruji di banyak sekali riset. Ketika kita punya mental yang positif, memiliki pikiran yang positif, itu akan membantu kita melalui hari-hari yang tidak selalu mudah.
Tapi kan kita manusia, pasti ada saja hal-hal yang tidak menyenangkan. Kadang-kadang kita dihadapkan pada sesuatu yang bikin enggak enak pikiran dan enggak enak perasaan. Jangan sangkal itu. Tapi bagaimana kita kelola segala negativitas itu, kemudian bisa kita ubah menjadi power dan kekuatan yang positif. Jadi meskipun mental positif itu kita perlukan, bukan berarti kita menafikan perasaan negatif seperti kesedihan, kecemasan, kekhawatiran. Itulah bedanya toxic positivity dengan optimisme. Jadi, orang yang optimis ada kalanya dia takut, ada kalanya dia cemas, ada kalanya mungkin dia ragu, tapi rasa itu bisa dia kelola, bisa dia kontrol, bisa dia mainkan dalam dirinya. Kemudian segala yang negatif itu bisa berubah menjadi kekuatan yang menggerakkan. Maka agar tidak menjadi toksik, setiap kali kita mulai merasakan pikiran dan perasaan yang kurang nyaman, kembalikan kepada Allah. Itu rumus dasarnya. Zikrullah ta'ala itu mengubah ketakutan menjadi kekuatan. Energi zikir itu menentramkan jiwa, membangkitkan optimisme. Bukankah segala sesuatu ketika dikembalikan kepada Allah itu akan menentramkan jiwa kita dan membangkitkan keyakinan kita?
Dan dalam sebuah hadis, teman-teman sekalian, bahkan Rasulullah pun takjub dengan orang-orang yang optimis. Rasul bersabda, "Wajibuni al-fa'al," kata nabi. Al-fa'lu itu membuatku takjub. Para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, apa itu al-fa'al?" Beliau menjawab, "Al-fa'al itu adalah kalimatun thayibah." Dalam bahasa lain, optimisme adalah kalimat-kalimat yang baik. Rasul sangat takjub dan menyukai al-fa'al, menyukai optimisme. Dan optimisme itu adalah kalimatun thayibah, kalimat yang baik yang berasal dari prasangka yang baik, pikiran yang baik, dan perasaan yang baik.
Dan mari kita belajar kalimat-kalimat baik optimisme dari para nabi yang Allah abadikan dalam Quran. Saya sebut dengan prophetic optimism. Bagaimana kalimat-kalimat baik ini bisa menumbuhkan optimisme, bukan hanya pada diri sendiri, tapi juga pada orang-orang di sekitar kita.
Yang pertama, kita belajar dari optimismenya Nabi Musa Alaihissalam. Sebagaimana kita tahu, Allah mengutus Nabi Musa untuk berdakwah kepada Firaun dan Bani Israil. Kita tahu kisahnya, segala cara sudah dicoba, pendekatan dakwah sudah dicoba, Firaun tidak menyambut seruan itu dengan baik. Singkat cerita, atas perintah Allah, Nabi Musa membawa Bani Israil pergi dari kerajaan Mesir dan Firaun benar-benar murka. Dengan pasukan yang lengkap, mereka mengejar rombongan Bani Israil hingga pada akhirnya mereka berhasil mengejar Bani Israil. Dalam keadaan terjepit, di depannya lautan, di belakangnya ada ancaman. Di sini Allah abadikan dalam Quran Surah Asyuara. "Faum musriin allama jaman Q. Ashu Musa innaudrun." Ketika Firaun dan bala tentaranya itu dapat menyusul mereka pada waktu matahari terbit, ketika dua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa, "Kita akan tersusul, kita akan benar-benar tersusul." Ada pesimisme di situ. Tapi bagaimana kalimat Nabi Musa, "Qala kalla inna ma'ia rabbi sayahdin," kata Nabi Musa. "Sekali-kali tidak, kita tidak akan tersusul." Kenapa? Karena Allah bersamaku dan Dia akan memberikan petunjuk kepadaku. Nah, kalimat yang muncul dari lisan Nabi Musa ini adalah kalimat optimisme, prasangka baik. Padahal di depan Nabi Musa ada lautan yang tidak mungkin diseberangi. Tidak ada perahu saat itu, tidak ada kapal, dan tidak mungkin berenang menyeberangi Laut Merah yang sebegitu luasnya. Sedangkan di belakang ada pasukan yang siap menangkap dan membantai mereka. Bagaimana dalam keadaan kondisi yang sulit, rasa pesimis muncul di pengikut Nabi Musa, tapi Nabi Musa tegar dan optimis. "Sekali-kali kita tidak akan tersusul karena Allah bersamaku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku." Optimisme itu lahir ketika seseorang bersandar, percaya pada solusi dan jalan keluar yang datang dari Allah, walaupun keadaan yang sama sekali tidak mendukung. Lalu apa yang terjadi setelah itu? Pertolongan Allah pun datang, luar biasa.
Berikutnya, kita belajar dari optimisme Nabi Yakub Alaihissalam. Salah satu penderitaan orang tua itu adalah saat kehilangan anaknya. Dan kita semua tahu kisahnya Nabi Yakub. Nabi Yakub menderita karena kehilangan Nabi Yusuf Alaihissalam. Tapi dalam setiap penderitaan yang dialaminya, kalimat-kalimat baik yang keluar dari lisannya. Nabi Yakub punya 12 anak, 10 anaknya berprasangka buruk, mengira bahwa Nabi Yakub hanya sayang kepada Yusuf Alaihissalam, dan mereka pun membuang Nabi Yusuf ke dalam sumur dan berkata bohong kepada Nabi Yakub bahwa Yusuf telah tewas karena dimakan serigala. Nabi Yakub akhirnya dikungkung kesedihan, menangisi kehilangan anaknya, tapi meskipun begitu, kalimat-kalimat thayibahlah yang keluar dari lisannya. Masih ada optimisme di antara runtuhan kesedihan-kesedihan itu. Puluhan tahun sudah berjalan, sudah banyak kisah dan kejadian yang dialami Nabi Yusuf, dan dia bahkan menjadi salah satu pembesar di negeri Mesir. Dalam keadaan seperti itu, perhatikan Surah An-Nur, "Pergilah kamu bertang Yusuf dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah hanyalah orang-orang yang kafir."
Optimisme ini akhirnya membawa Nabi Yakub bertemu kembali dengan putranya. Bahwa setiap kita pasti butuh ditolong sama Allah. Jangan habiskan berkeluh kesah pada makhluk, sebagaimana juga ungkapan Nabi Yakub yang lain, "Inna ma ashku bathi wa huzni illa Allah," aku mengadukan segala kesusahan dan kesedihanku kepada Allah.."
Yang terakhir, teman-teman sekalian, kita belajar optimisme dari kisahnya Nabi Daud alaihissalam. Nabi Daud pernah berada dalam kondisi yang sangat sulit ketika dia tergabung dalam kelompok kecil yang harus berhadapan dengan kelompok besar. Namun sikap optimisme menjadi bekal penting untuk menghadapi kelompok besar itu. Nah, kisah ini bermula ketika Raja Thalut bersama 80.000 pasukannya, termasuk Nabi Daud, akan berperang melawan raja zalim yang bernama Jalut (David versus Goliath). Jumlah pasukan Thalut dan Jalut ini sangat tidak berimbang. Pasukan Jalut jauh lebih banyak, jauh lebih kuat. Lalu di tengah perjalanan menuju medan peperangan, Thalut itu berpesan kepada pasukannya. Ini Allah abadikan dalam Quran, Surah Al-Baqarah ayat 249: "Kamillah, berapa banyak kelompok kecil yang bisa mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah." Luar biasa kalimat optimisme yang semestinya menginspirasi kita. Dan kita semua tahu, ternyata dari 80.000 pasukan itu sebagian besar melanggar perintahnya Thalut, minum air sungai berlebihan, mereka berbalik mundur, mereka juga enggak yakin bisa menang melawan Jalut. Tapi sementara itu ada beberapa pasukan yang tersisa, ratusan orang termasuk Nabi Daud, yang tidak meminum air sungai itu kecuali hanya sedikit, tetap berangkat ke medan perang dengan menyerukan kalimat optimis kepada pasukannya. Dan hasil akhirnya, pertolongan Allah hadir. Mereka mengalahkan pasukan yang jauh lebih besar dan jauh lebih kuat. Bahwa kunci utama dari optimisme itu adalah dengan izin Allah.
~ Catatan dari Kajian Ustadz Soni Abi Kim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar