15 Sep 2021

KemahaRahman-Nya Allah

 Sebenarnya kita ini tidak bisa apa apa. Dibikin sakit saya sdh tak berdaya. Itulah sebabnya semua bentuk ide besar, langkah besar, bahkan prestasi besar itu bukan karena kita. Bukan karena kontribusi kita, bukan juga karena ide dan gagasan kita. Seberapa besar semua itu jika dibanding dengan keMahaKuasaan Allah dan KemahaRahman-Nya Allah.


Artinya, semua karya dan prestasi serta gagasan besar itu hanyalah karena kita sedang ketitipan. Krn KeMahaBaikan Allah sehingga ide, karya, warisan itu melalui kita. Jika dlm perjalanannya sudah merasa ini itu karena aku, atau berfikir.. 'Tanpa aku ga bisa jalan baik'. Semua ini jadi baik sebab kerja-kerjaku.. Maka sejak itu kita telah meniadakanNya. 


Wahai diri, sadarlah.. Bahwa semua yang melekat pada dirimu adalah ketiadaan, dirimu pun juga tiada, karena yg ada dan kekal hanyalah Tuhanmu. Allah SWT.


Wahai diri, kehebatan dan kelebihan pada dirimu itu hanya karena angkau sedang dittitipi saja olehNya. Jika titipan itu membuat engkau mengklaim bahwa itu karyamu.. milikmu... Maka ga segan2 Yang menitipi akan menarik kembali titipannya. 


Wahai diri, semua amal dan karyamu sejatinya krn rahmat-Nya Allah padamu. Tanda keMahaCintaanNya.  Sedikit saja menyandarkan pada ikhtiar dan peran diri maka sama halnya menyandarkan pada amal.


Wahai diri, jika engkau masih menjadikan Allah Azza Wajalla sebagai Rabb, Tuhan Yang Maha Mngatur dan Menjaga. Maka tugasmu adalah menjalani dengan usaha dan karya yg terbaik dengan semata memohon ridhoNya bukan ridho atas nafsumu.


So, sebesar apapun kemudahan, prestasi dan kecemerlangan itu semata karena KeMahaKuasaan Allah. Sebesar apapun kekurangan, kesukaran, kesulitan dan kegagalan itu semata karena KeMahaCintaanNya.


Bersyukurlah... jika sampai detik ini masih dititipi oleh Allah untuk bisa terus berkarya, meninggalkan legacy (warisan perjuangan), dan masih bisa terus berkontribusi kepada umat, bangsa dan negara.

Merendahlah... jika sampai detik ini Allah masih mempercayakan titipan berupa hamba-hambaNya padamu karena titipan itu (seberat apapun) agar membuatmu bersandar pada-Nya bukan pada kemampuanmu.


Menengadahlah... jika sampai detik ini masih banyak kekuranganmu, sementara tugas dakwah ini lebih besar dibanding kemampuanmu, tugasmu lebih banyak dari ketersediaan waktumu.

Itu karena....

Agar engkau bisa menikmati semua rasa bersama-Nya, keindahan Pesan Cinta-Nya dan ketenangan bersandar padaNya. Karena diri ini memang bukanlah siapa siapa.. 


 هَلۡ أَتَىٰ عَلَى ٱلۡإِنسَـٰنِ حِینࣱ مِّنَ ٱلدَّهۡرِ لَمۡ یَكُن شَیۡـࣰٔا مَّذۡكُورًا


"Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?"


[QS. Al-Insan, 76: 1]

3 Sep 2021

Melihat Rumah Anda di Jannah: Tentang Mencari  Bantuan Ilahi

Self-Reminder! 


ALKISAH, SEORANG WANITA mencintai sesuatu yang melebihi gemerlapnya kehidupan ini. Ia tidak pernah membiarkan dirinya ditentukan atau terbatasi oleh keadaan yang menyakitkan; di dalam dirinya ada iman yang begitu mendalam sampai-sampai ia rela mati untuk itu. Ia seorang ratu, namun ia memahami sifat sejati dari takhta dan istana dunia ini, dan sebagai gantinya ia mendambakan istana di kehidupan selanjutnya. Tapi, bagi Asiah, istri Firaun, ini bukan sekadar gambaran sekilas metaforis hati manusia. Bagi Asiah, gambaran sekilasnya adalah visi mata fisiknya.


Allah berfirman, Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (QS At-Tahrim [66]: 11).


Saya telah mendengar kisah tentang Asiah entah berapa kali. Setiap kalinya, saya selalu tercengang. Tapi, baru akhir- akhir ini kisahnya memengaruhi saya dalam cara yang benar- benar berbeda. Beberapa bulan yang lalu, saya menghadapi cobaan sulit. Rasanya sungguh tak ternilai memiliki teman- teman yang shaleh dan berhati malaikat. Ketika kita berada dalam kesukaran  dan akan ada sepasukan jiwa baik hati yang mendoakan kita. Subhanallah.


Jadi, saya pun mengajukan permintaan itu. Saya meminta hadiah terbesar yang bisa diberikan manusia kepada yang lain. Saya meminta didoakan. Apa yang saya terima sungguh menakjubkan. Saya tak akan melupakan karunia Allah itu. Ada orang-orang yang mendoakan saya dalam qiyam (mengerjakan shalat malam),  saat bepergian. Saya menerima begitu banyak doa, namun ada satu yang benar-benar menghantam saya. Sebuah SMS sederhana. Isinya, Semoga kau diperlihatkan tempatmu di surga sehingga kesulitan apa pun yang kaualami akan terasa mudah bagimu.” Saya membacanya dan doa itu menghantam saya. Benar-benar mengenai saya.


Pada saat itulah saya teringat kisah Asiah, dan mendadak menyadari sesuatu yang luar biasa. Asiah menjalani siksaan teramat berat yang bisa dibayangkan siapa pun. Firaun adalah tiran terbesar yang pernah berjalan di muka bumi. Dia bukan hanya menguasai diri Asiah. Dia juga suaminya. Pada saat-saat terakhirnya, Firaun mulai secara brutal menyiksanya. Tapi sesuatu yang aneh terjadi. Asiah tersenyum. Asiah akan melalui salah satu kesulitan paling berat yang bisa dialami manusia, namun ia tersenyum.


Bagaimana bisa begitu? Bagaimana ia bisa disiksa dan tetap tersenyum, sementara kita hanya terjebak dalam kemacetan, atau dipandang keliru oleh seseorang, kita tak sanggup menanggungnya? Bagaimana Nabi Ibrahim a.s. sanggup menghadapi bencana paling hebat, namun api yang melalap tubuhnya terasa dingin? Mengapa ada orang-orang yang tidak punya apa pun tak memiliki alasan untuk mengeluh, sementara orang yang memiliki “segalanya” menemukan banyak alasan untuk mengeluh? Bagaimana kita bisa memiliki banyak kesabaran ketika menghadapi tantangan besar daripada yang kita miliki saat menghadapi tantangan kecil sehari-hari?


Dulu saya beranggapan bahwa bencana terasa berat karena beberapa hal memang secara objektif sulit untuk ditanggung. Saya pikir ada semacam daftar hierarki standar untuk segala kesulitan. Kematian orang terkasih, contohnya, lebih sulit ditanggung daripada terjebak dalam kemacetan. Tampaknya cukup jelas. Tampaknya jelas.


Tapi itu juga keliru.


Bencana jenis apa pun tidaklah sulit untuk ditanggung karena bencana itu sendiri berat. Ukuran kemudahan atau kesulitan dalam kesukaran hidup ada pada timbangan yang berbeda timbangan yang tak kasatmata. Apa pun yang saya hadapi dalam hidup akan terasa mudah atau sulit, bukan karena itu mudah atau sulit. Kemudahan atau kesulitan hanya didasarkan pada tingkat pertolongan Ilahi. Tidak ada, tidak ada yang mudah, kecuali Allah memudahkannya bagi kita. Baik itu kemacetan lalu lintas. Terluka akibat besetan kertas. Tidak ada yang sulit jika Allah memudahkannya bagi kita. Entah itu sakit, mati, dilempar ke dalam api, atau disiksa oleh seorang tiran.


Tak ada yang sulit jika kau mencarinya kepada Tuhanmu. Tak ada yang mudah jika kau mencarinya pada dirimu sendiri.


Ibnu Athailah al-Iskandari mengungkapkannya dengan sangat indah, “Tak ada yang sulit jika kau mencarinya kepada Tuhanmu. Tak ada yang mudah jika kau mencarinya pada dirimu sendiri.”


Nabi Ibrahim a.s. dilemparkan ke api. Allah tidak berkehendak siapa pun mengalami cobaan seperti itu dalam hidup ini. Tapi, tidak ada orang yang takkan terlempar ke semacam api emosional, psikologis, atau sosial dalam kehidupan mereka. Jangan beranggapan barang sejenak pun bahwa Tuhan tidak bisa menjadikan api itu dingin bagi kita. Asiah disiksa secara fisik, tapi Allah menunjukkan rumahnya di jannah. Jadi ia tersenyum. Mata fisik kita tak dapat melihat jannah dalam hidup ini. Tapi, jika Allah berkehendak, visi hati kita dapat memperlihatkan rumah bersama-Nya sehingga setiap kesulitan akan terasa mudah. Mungkin kita juga bisa tersenyum, bahkan dalam saat-saat seperti itu.


Masalahnya bukanlah cobaan itu sendiri. Masalahnya bukanlah rasa lapar atau rasa dingin. Masalahnya adalah apakah kita memiliki bekal yang dibutuhkan ketika rasa lapar dan dingin itu datang. Jika begitu, rasa lapar maupun rasa dingin tadi takkan dapat menyentuh kita. Takkan dapat menyakiti. Masalah- nya adalah ketika rasa lapar datang, kita tidak memiliki makanan. Masalahnya adalah ketika badai salju menerjang, kita tidak memiliki tempat berlindung.


Memang Allah mengirimkan cobaan, di mana kita dapat dimurnikan, diperkuat, dan kembali kepada-Nya. Tapi, ketahuilah bahwa bersama rasa lapar, rasa haus, dan rasa dingin itu, Allah mengirimkan makanan, minuman, dan tempat berlindung. Allah mengirimkan cobaan, tapi bersamanya Allah dapat mengirimkan kesabaran, dan bahkan keridhaan untuk menanggung cobaan tersebut. Benar, Allah mengirim Adam ke dunia ini tempat ia harus berjuang dan menghadapi kesulitan. Tapi, Allah juga menjanjikan bantuan-Nya. Al-Quran memberi tahu kita, Allah berfirman, Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (QS Thaha [20]:123).


Mungkin salah satu doa favorit saya adalah doa yang dipanjatkan Rasulullah di Taif. Dalam keadaan berdarah-darah dan penuh luka, ia berseru kepada Tuhan-nya: “Aku berlindung dengan nur wajah-Mu yang menerangi segala kegelapan. Dan oleh nur tersebut setiap urusan dunia dan akhirat diatur secara tepat.”


Sesungguhnya Allah memberi cobaan kepada mereka yang Dia kasihi dan Dia uji secara proporsional berdasarkan tingkat keimanan. Tapi, Allah juga mengirimkan bantuan-Nya sehingga cobaan bisa terasa mudah dan api terasa dingin. Allah mengirimkan bantuan-Nya sehingga sekilas pandangan tunggal cahayaNya dan rumah bersama-Nya dapat membuat kita tersenyum bahkan di tengah-tengah api cobaan.